Di mata pengamat ekonomi politik dari Northwestern University, Amerika Serikat, Prof Jeffrey Winters, buruknya kinerja pemerintah tidak lepas dari sikap Presiden SBY dalam menjalankan pemerintahan. SBY dianggap lebih suka terlihat cantik, santun dan berambut rapi di depan kamera dibanding bekerja keras mengatasi persoalan-persoalan yang ada di Indonesia.
Lantas apa yang membuat pasangan SBY-Boediono belum bisa berbuat banyak selama setahun bekerja? Berikut pandangan Jeffrey Winters kepada detikcom, Sabtu (16/10/2010):
Apa pandangan Anda terhadap kinerja SBY-Boediono selama menjalankan pemerintahan?
Sampai saat ini saya melihat kinerja pemrintahan SBY-Boediono rendah. Dan perlu dicatat prestasi yang rendah kepemimpinan SBY bukan sesuatu yang baru. Karena sejak 2004 memang kinerjanya tidak pernah tinggi. Jadi kombinasi SBY-Kalla yang sudah mengecewakan menjadi lebih parah dengan kombinasi SBY-Boediono.
Meski pada masa SBY-JK kinerjanya buruk, paling tidak Jusuf Kalla dikenal sebagai orang yang tidak sabar dan sering mendorong SBY untuk bertindak dan ambil keputusan. Tetapi akhirnya Kalla menjadi capek, frustrasi dan lepas saja.
Selama ini SBY adalah orang yang selalu ingin menjadi cantik. Dan jelas dia tidak mungkin menjadi cantik di depan kamera kalau benar-benar mendorong sistemnya sehingga bajunya dan mukanya penuh keringat seperti buruh yang kerja keras di jalan atau sawah. SBY dikenal sebagai orang santun dan rambutnya selalu rapih. Orang yang santun gaya SBY bisa sukses di bidang politik, dalam arti mempertahankan posisinya di pemerintahan, tetapi tidak mungkin bisa sukseskan Indonesia yang perlu didorong keras untuk menjadi kompetitor internasional yang dahsyat.
Seharusnya rakyat tidak lagi memilih pemimpin yang hanya mengandalkan kesantunan dan bersolek diri di depan kamera. Tapi yang perlu dicari adalah seorang presiden yang lebih fokus kepada penurunan jumlah kemiskinan.
Kalau mengenai kinerja para menterinya bagaimana?
Kinerja para menteri terkait dengan performa pemimpinnya. Karena sikap presidennya sebagai leader tidak bagus tentu saja para menterinya juga tidak bagus kerjanya. Apalagi pemilihan anggota kabinet berdasarkan bagi-bagi kekuasaan supaya aman di parlemen. Hasilnya yang terjadi pemilihan bukan berdasarkan kapabilitas dan akuntabilitas. Melainkan berdasarkan jatah anggota koalisi.
Bukankah memperkuat dukungan parlemen sebagai sebuah strategi supaya pemerintahan bisa berjalan efektif tanpa diganggu manuver-manuver politik dari parlemen?
SBY sebagai calon presiden jelas menang besar di pemilu. Dua kali dia dapat 60 persen! Di seluruh dunia jumlah suara sebesar itu disebut 'Landslide Victory'. Yang aneh, SBY tidak mengunakan mandat ini untuk membentuk kabinet yang benar-benar dimiliki dia sebagai instrumen eksekutif, untuk melaksanakan dengan tegas konsep dan tujuan dia yang disampaikan dalam kampanye. Malah dia terkesan'dagang sapi' dengan partai-partai politik dan memilih kabinet yang lebih seperti kebun binatang atau 'Noah's Ark', dua wakil dari setiap jenis.
Kalkulasi SBY ternyata naif dan salah. Dia berfikir bahwa dengan kabinet seperti ini, dia akan punya basis aman di DPR dan bisa jadi lebih efektif. Yang terjadi justru sebaliknya. Malah partner-partnernya tetap melawan SBY di DPR dan memperjuangkan agenda masing-masing di kabinet. Setiap presiden di Indonesia harus berasumsi bahwa tidak akan ada dukungan kuat di DPR. Dengan begitu banyak partai, pasti akan ada perlawanan.
Pertanyaanya, bagaimana bisa menjadi eksekutif yang memaksimalkan kualitas dan solidaritas di dalam kabinet sendiri? Sudah barang pasti bahwa DPR akan selalu sulit. Tetapi, minimal bisa diharapkan bahwa kabinet akan utuh dan solid. Dengan formula SBY, justru hasil yang paling buruk, yaitu DPR yang selalu sulit dan kabinet pun yang kacau dan tidak efektif. Ingat, SBY bukan perdana menteri yang dipilih oleh MPR. Dia adalah presiden yang dipilih langsung oleh rakyat.
SBY tidak pernah faham bedanya, dan akibatnya adalah kabinet yang begini sekarang, penuh menteri yang selalu memperjuangkan agenda partai politiknya terlebih dahulu dan bahkan melawan agenda presiden.
Jadi jangan heran kalau roda kabinet SBY berputar di tempat. Ini karena dua faktor. Pertama, secara pribadi SBY memang orang yang sulit ambil keputusan dan tidak bisa menjalankan strategi dengan tegas dan cepat. Dan kedua, secara struktural dia membentuk kabinet dengan cara yang pasti akan memecah daripada menyatu. Oleh karena itu, diharapkan presiden berikutnya sebaiknya membentuk kabinet yang 100 persen penuh dengan orangnya dia, yang akan memperjuangkan agenda presiden, bukan agenda partai politik masing-masing.
Mengenai pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai pemerintah SBY-Boediono, apakah menunjukan grafik yang menggembirakan?
Sekali lagi Indonesia menjadi 'flavor of the day' untuk 'hot money financial' yang bersirkulasi dengan cepat di bumi ini. Indonesia harus waspada terhadap investasi DCCP ini (datang cepat, cepat pergi), malah pemerintah sepertinya membanggakan bahwa uang tersebut tertarik dengan bursa efek Jakarta.
Padahal tidak ada alasan yang mendasar untuk uang tersebut mengalir ke Indonesia selain spekulasi sementara. Kalau berbudi, pemerintah akan hati-hati dengan investasi macam ini, karena pertama, tidak menambah jumlah investasi modal di sektor riil. Kedua, justru pulangnya uang seperti ini yang membuat krisis finansial 1997-1998 ganti status dari hujan biasa menjadi badai luar biasa.
Saya melihat, Indonesia saat ini masuk ke dalam situasi yang bahaya dan pemerintah SBY serba senyum dan bahagia. Bentuk selalu kalahkan isi, sejak SBY naik menjadi presiden.
Apakah ini artinya satu tahun ini SBY-Boediono gagal menggerakan perekonomian nasional? Bagaimana indikatornya?
Pejabat dan presiden di Indonesia punya penyakit yang saya sebutkan 'Mentalitas 7 Persen'. Penyakit mental ini punya dua dimensi. Satu, ada konsep bahwa Indonesia hanya mampu mencapai pertumbuhan ekonomi 7 persen saja. Target di atas 7 persen dianggap mimpi dan tidak realistis. Kedua, jika Indonesia bisa mencapai 7 persen, ini dianggap cukup untuk membuat masa depan jauh lebih baik. Dua-duanya salah.
Kalau Cina dan India bisa mencapai pertumbuhan double digit atau 10 persen ke atas, Indonesia tidak ada alasan yang relevan selain tidak mau membuat perubahan supaya memang ada kinerja ekonomi yang lebih tinggi. Dan, kalau ternyata Indonesia hanya mencapai 7 persen, dan terus terang selalu jauh di bawah target, rakyat harus menunggu lama untuk ke luar dari kemiskinan. Mana ada presiden atau partai yang punya 'Visi 2045'? Ini seratus tahun kemerdekaan dan seratus tahun pembangunan. Apakah Indonesia bisa menjadi negara maju dalam waktu 35 tahun ini? Negara maju?
Tidak ada yang berani setting tujuan se-ambisius itu, karena untuk benar-benar mencapai target tersebut, harus ada perubahan besar mulai sekarang. Elit politik di Indonesia lebih mementingkan partainya, bisnisnya, atau bahkan sakunya pribadi. Itu kenyataan. Jadi rakyatlah yang harus maksa perubahan yang lebih cepat, dan sense of urgency di tingkat pemerintahan yang jauh lebih tinggi. Elit politik di Indonesia sangat rajin setting target yang rendah, justru supaya bisa malas dan senang. Dan, yang menjadi korban adalah rakyat luas.
(zal/fay)
detiknews.com
Post a Comment