Islam, Antara Agama dan Negara


Hubungan antara agama dengan negara dalam pandangan Islam, harus didasarkan pada akidah Islamiyah, bukan akidah yang lain

Oleh Muhammad Ismail

www.hidayatullah.com--Islam sebagai agama dan negara (Al-Islam Din wa Daulah), merupakan sebuah topik yang amat kontroversial dan sering dijadikan pembahasan dalam wacana pemikiran Islam. Islam sebagai negara merupakan bentuk lain dari Islam dan dunia (Al-Islam wa Dunyah). Agama bukan sekedar keyakinan terhadap pencipta, melainkan agama mencakup segala lini kehidupan yang ada, baik di dunia maupun akhirat. Awal mula timbulnya perdebatan ini terjadi dalam suasana ketika dunia Islam telah pecah-belah atas negara dan bangsa (nation and state).

Herbert Spencer dalam bukunya First Principles mengutarakan bahwa pada dasarnya agama berisi “keyakinan akan adanya sesuatu yang mahakekal yang berada di luar intelek”. Senada dengan hal tersebut, Max Muller dalam Introduction to Science of Religions yang diterbitkan di London, melihat semua agama sebagai “usaha untuk memahami apa yang tak dapat dipahami dan untuk mengungkapkan apa yang tak dapat diungkapkan, sebuah keinginan kepada sesuatu yang tidak terbatas”.

Dari gagasan keduanya dapat dipastikan bahwa agama (Islam) tidak bisa dipisahkan dengan aspek apapun, begitu pula dalam pembahasan kenegaraan. Agama (Islam) membimbing umatnya untuk menuju apa yang telah menjadi esensi dasar dari penciptaan.

Menurut Hasan al-Banna, orang yang beranggapan bahwa Islam tidak berurusan sama sekali dengan politik, atau sebaliknya politik tidak ada sangkut pautnya dengan agama, adalah suatu gagasan yang keliru. Demikian halnya dengan Ahmad Amin (1886-1956) dalam Yaum Al-Islam, menulis bahwa Islam tidak menginginkan antara agama dengan politik itu terpisah karena fungsi dari agama untuk memperbaiki sistem politik yang ada dan membimbing para pemimpin menuju kemaslahatan masyarakat.

Sebagaimana tertulis dalam sejarah, Eropa pernah terjerumus ke dalam perang, yang ditimbulkan karena mereka secara sengaja memisahkan politik dari agama. Hal itu menyebabkan politik terlepas dari norma-norma dan etika.

Sistem pemerintahan tidak bisa lepas dari hukum sebagai benteng kemasyarakatan. Menurut Rasyid Rida, hukum adalah prasyarat rasional kehidupan sosial yang tertib, yang menunjukkan adanya integrasi moral dan kebudayaan suatu masyarakat. Hukum seperti inilah yang mampu membentengi masyarakat dari anarki moral dan serangan budaya asing.

Terkait dengan wacana hukum, Hasan al-Banna mengatakan bahwa Islam sudah memberikan prinsip legislasi dan rincian hukum di berbagai bidang, baik itu kehartabendaan maupun kriminal, perdagangan maupun kenegaraan. Untuk itu, tidaklah masuk akal apabila hukum yang berlaku dalam masyarakat Islam bertentangan dengan ajaran agamanya. Maka beliau menawarkan pentingnya Islamisasi Qonun, dalam artian menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif.

Al-Quran sebagai undang-undang yang mengatur segala bentuk kegiatan umat manusia mencakup seluruh aspek. Baik itu bidang ekonomi, pendidikan, hukum maupun politik. Khususnya dalam hal politik, telah tersurat dalam QS. Al-Maa’idah: 49:

“... dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”  [QS. 5: 49]

Sebenarnya manusia hanyalah pelaku dari undang-undang kehidupan, Al-Quran adalah pedoman dari undang-undang manusia, sedangkan Allah SWT merupakan konseptor kehidupan di dunia yang wajib diimani, bukan dikritik buta. Jadi kemajuan suatu bangsa baru akan terwujud apabila pemerintahan mampu memahami pedoman kehidupan yang telah ditetapkan sang pencipta.

Agama tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan negara atau pemerintahan politik. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnu Taymiyyah dalam Maj’mu Al-Fatawa juz 28 hal 394, apabila negara dipisahkan dari agama ataupun sebaliknya negara dipisah dari agama, maka keadaan masyarakat niscaya akan hancur. Agama dan kekuasaan ibarat saudara kembar. Seperti Imam al-Ghazali memisalkan agama adalah pondasi dan negara adalah bangunannya. Sebuah bangunan tidak akan bisa berdiri tegak tanpa adanya pondasi.

Permisalan di atas merupakan sanggahan dari yang dikatakan Robert Audi dalam bukunya “Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal”, ia memberikan gagasan bahwa agama tidak boleh mengatur segala aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Agama hanya boleh mengatur hubungan pribadi manusia dengan Tuhannya, sedangkan hubungan antara manusia dengan manusia ditentukan oleh manusia itu sendiri.

Kemajuan suatu bangsa tergantung dari sistem pemerintahan yang diterapkan, yang mana keadilan bukan hanya slogan semata, kesejahteraan rakyat bukan sekedar janji tertulis dan terucap, demokrasi politik yang tidak lagi bermartabat dijadikan tameng persembunyian dari kebejatan akhlak. Semuanya perlu adanya landasan ideologi yang benar dan bukti nyata menguntungkan antara pemerintahan dan rakyat.

Akidah Islamiah
Hubungan antara agama dengan negara dalam pandangan Islam harus didasarkan pada akidah Islamiyah, bukan akidah yang lain. Akidah Islamiyah telah memerintahkan penerapan agama secara menyeluruh, yang sangat membutuhkan eksistensi negara. Jadi, hubungan agama dan negara sangatlah erat, karena agama (Islam) tanpa negara tak akan dapat terwujud secara sempurna dalam kehidupan. Agama membutuhkan negara agar agama dapat diterapkan secara sempurna dan bahwa agama tanpa negara adalah suatu cacat yang akan menimbulkan reduksi dan distorsi yang parah dalam beragama.

Agama tak dapat dipisahkan dari negara. Agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui negara yang terwujud dalam konstitusi dan segenap undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Sebagai kesimpulan dari paparan di atas, pemikiran trilogi (din, dunyah, dan daulah) beserta dengan bermacam yang berkaitan dengan itu, membuktikan bahwa kedudukan Islam yang telah menempati segala ranah sosial dan memasuki berbagai segi kehidupan manusia terus sejalan. Ini bisa dijadikan solusi terhadap tantangan pemikiran Islam modern. Yang pertama, kemungkinan adanya anggapan bahwa agama hanya menyibukkan diri pada keyakinan semata. Kedua, kemungkinan kehidupan sosial politik yang menganaktirikan agama atau memberi tempat yang sempit bagi peran agama. [www.hidayatullah.com]
Penulis adalah mahasiswa Institut Studi Islam Darussalam ISID Gontor Ponorogo